Jejak Setapak Menuju Kebahagiaan

Jejak Setapak Menuju Kebahagiaan
Syahdar Haluoleo


     Beberapa bulan lalu, duka yang mendalam dirasakan oleh Ratih dan Rani,  ibunya yang sangat ia cintai meninggal akibat penyakit kanker. Kini, Ratih dan Rani tinggal bersama ayahnya yang bernama Herman dan bekerja sebagai Direktur di salah satu Perusahaan di Makassar.

     Ratih selisih 5 tahun dari Rani, Ratih berusia 15 tahun dan Rani berusia 10 tahun. Mereka berdua saling menyayangi satu sama lain, ayahnya sangat sibuk setiap hari, sehingga tak mempunyai cukup waktu untuk bersama kedua putrinya.

     Malam yang dingin dengan hembusan angin yang cukup kencang membuat jendela kamar Rani terbuka dan membuatnya terbangun, Saat hendak menutup jendela, Rani duduk di meja belajarnya dan dari jendela kamar, Rani manatap indahnya bulan dan ribuan cahaya yang bersinar di langit sambil membayangkan wajah ibunya yang sangat ia rindukan. 

“Ibu, sekarang anakmu ini sangat membutuhkan pangkuan dan pelukan kasih sayangmu..” Ungkap isi hati Rani dengan menitikkan air mata kerinduannya.

“..Pada siapa Rani bercerita saat Rani pulang sekolah? Apa ibu tau, kemarin adalah hari yang berkesan untuk Rani, dimana Rani menampilkan sebuah puisi untuk ibu dan Kak Ratih berhasil menjadi juara di kelasnya dan tidak ada yang mendampinginya di atas panggung untuk menerima sebuah penghargaan.” Curahan hati dan tangis terus mengalir di mata Rani.

     Herman yang baru saja pulang kerja tak sengaja melihat pintu kamar Rani terbuka dan melihatnya masih terbangun. 

“Nak..” Ucap Herman sambil mengetuk pintu kamarnya.

     Rani hanyut dalam kesedihannya, sehingga tak mendengar ketukan pintu dari Herman yang berdiri di depan pintu kamar.
Dengan heran, Herman pergi menghampiri Rani dan melihatnya menangis sambil menatap di luar jendela.

“Nak, ada apa dengan mu?” sambil menepuk bahu sebelah kanan Rani.

“Eh..Sejak kapan Ayah disitu?” Dengan sedikit terkejut dan sambil mengusap air matanya.

“Tadi, Ayah melihat pintu kamar kamu terbuka dan melihat kamu masih belum tidur di jam begini” Jelas Herman dengan mengambil tisu untuk Rani.

     Kesedihan Rani tak bisa terbendung dan menangis di depan Herman.

“Yah..Rani sangat merindukan Ibu.” 

     Herman seketika rapuh melihat putrinya menangis di hadapannya, tetapi ia tidak mau kelihatan lemah di depan putrinya dan dengan penuh pengertian Herman menjelaskan kepada Rani.

“Nak, Ibu kamu sudah berada di tempat yang sangat indah dan kalau Ibu melihat kamu menangis seperti ini, Ibu kamu akan sedih di sana.” Sambil menatap bulan yang bersinar di langit.

     Mendengar hal tersebut, Rani berdiri dari tempat duduknya dan memeluk Herman.

“Sekarang malam sudah sangat larut, jangan sampai Kakak kamu juga ikut terbangun dan besok kamu kan sekolah, ayah akan mengantar kamu dan Ratih, sebaiknya kamu cepat pergi tidur Nak!”
 
“Iya Yah, Selamat malam.” 

     Malam berganti dengan cepat, kicauan burung dan sinar pagi memberikan semangat baru untuk Rani. 
     Hari ini, mereka berdua akan di antar oleh Ayahnya pergi ke sekolah yang biasanya mereka hanya di antar oleh supir pribadi Herman.

“Cepat Kak Ratih, hari ini Ayah akan mengantar kita ke sekolah” Ucap Rani kepada Ratih sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.

“Ayah akan mengantar kita?” Tanya Ratih dengan terheran dan sedikit terkejut.
“Iya, makanya kakak cepat, jangan buat Ayah menunggu di luar” 

     Ratih dan Rani telah selesai membereskan peralatan sekolahnya dan keluar menemui ayahnya. Mereka melihat ayahnya duduk di meja makan dan segera menghampirinya.

“Selamat pagi Yah” Sapa Rani kepada Herman yang baru saja selesai meminum secangkir kopi.

“Wah..wah ceria sekali kedua putri Ayah pagi ini!” Sambil tersenyum melihat wajah Ratih dan Rani yang berseri.

“Ayah kan akan mengantar kita ke sekolah.” Kata Ratih Sambil duduk dan mengoleskan selai pada rotinya.

“Iya dan ayah janji akan mengantar kalian berdua ke sekolah setiap hari.”

     Ratih dan Rani sangat bahagia mendengar hal tersebut. Tak selang Beberapa lama mengobrol di meja makan, mereka pun berangkat.
     Di dalam mobil, mereka bersenda gurau bersama dan Rani tak berhenti tertawa menandakan kebahagiannya. Herman tak ingin melihat kedua putrinya merasa kehilangan sosok ibu mereka, walau ia harus mengorbankan pekerjaan demi kebahagiaan putrinya. 

     Jarak sekolah Ratih dan Rani tak beda jauh, mereka berdua turun dari mobil bersamaan dan berpamitan kepada ayahnya. 

“Ayah akan jemput kalian setelah pulang sekolah.” 

“Iya, Yah.” Serentak mereka menjawab dan pergi memasuki pintu gerbang.

     Herman tersenyum melihat kedua putrinya bahagia.
Sudah sangat lama aku tidak melihat mereka tertawa dan tersenyum seperti tadi, di usianya yang sekarang mereka membutuhkan sosok ibu yang selalu menjaga dan menemani mereka di sampingnya, ucapnya sedikit pelan sambil melanjutkan perjalananannya ke kantor.

     Di perjalanan menuju kantor, Herman melamun memikirkan kedua putrinya yang saat ini adalah prioritas utamanya. Seketika seseorang yang hendak menyeberang hampir saja ditabrak oleh Herman. Herman pun mengerem kencang dan segera turun dari mobilnya untuk melihat kondisi orang tersebut. Ternyata orang yang hampir saja ditabrak oleh Herman adalah sahabat dari Almarhumah ibu Ratih dan Rani. 

“Malika?” Dengan melihat wajahnya sambil berusaha untuk menolongnya.

“Herman?” Sambil merapikan tas dan bukunya yang berserakan.

     Selain sahabat dekat dari istrinya, Malika adalah orang yang menjodohkan Herman dan Indah, Almarhumah Ibu Ratih. Sejak setahun Herman dan Indah menikah, Malika mengikuti suaminya untuk tinggal di Malaysia.

“Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana kabar Indah?” 

“Indah telah meninggal dua bulan yang lalu akibat terkena penyakit kanker payudara Ka..” Terpampar ekspresi sedih di wajah Herman.  

“Innalillahi wa innailaihi Rojiun” Dengan sangat terkejut Malika mendengar hal tersebut hingga menjatuhkan buku-buku yang dipegangnya.

“Kamu mau kemana Ka, sehingga terburu-buru seperti tadi?” Sambil memungut buku-buku yang dijatuhkan Malika.

“Aku sudah terlambat Man, kalau begitu aku pergi dulu yah!” Dengan mengambil buku dari tangan Herman dan segera bergegas pergi.

     Malika begitu terburu-buru berlari hingga tak sengaja menjatuhkan dompet dari dalam tasnya. Herman pun berlari memungut dompet tersebut, tetapi tak sempat mengejar Malika yang sudah sangat jauh entah kemana. Herman membuka dompet tersebut untuk menemukan kartu identitas Malika dan ia menemukan alamat rumahnya. Tetapi, Herman sudah terlambat ke kantornya dan ia berencana mengembalikannya setelah ia pulang bekerja.

     Tibanya di Kantor, Herman berjalan dengan terburu-buru karena hari ini akan ada karyawan baru yang ingin diwawancarainya. Sekretaris Herman  memberitahu bahwa karyawan baru yang ingin melamar sudah berada di ruangannya. Dengan begitu, Herman memasuki ruangannya dan ia terkejut bahwa Malika adalah karyawan baru yang dimaksud.

“Malika?” Sambil menyimpan tasnya di meja. 

     Malika terkejut melihat Herman memasuki ruangan dan baru menyadari bahwa Herman lah yang dimaksud sebagai direkturnya.

“Ternyata kamu terburu-buru karena mau mengikuti wawancara di perusahaan ini?” Tanya Herman sambil tersenyum ke Malika.

“Iya” Sambil menyerahkan dokumen lamarannya ke Herman.

     Herman mengambil sesuatu dari tasnya dan itu adalah dompet Malika yang terjatuh di jalan.

“Ini dompet yang kamu jatuhkan di jalan tadi.” Herman menyerahkan dompet tersebut.

“Alhamdulillah, syukurlah untung ada di kamu. Pusing aku mencarinya kemana-mana Man.” Dengan lega Malika mengambil dompet tersebut.

“Makanya, lain kali jangan terburu-buru yah!” Sambil Herman duduk dan mempersilahkan Malika untuk duduk juga.

“Iya, sekali lagi makasih yah Man.” 

“Kenapa kamu mencari pekerjaan Ka, bukannya kamu tinggal bersama Hazman di Malaysia?” Tanya Herman dengan serius.

“Saya bercerai dengan Hazman, karena dia berkhianat dengan wanita lain.” Malika tak kuasa mengontrol dirinya dan menangis di hadapan Herman.

     Herman pergi mengambilkan sebuah gelas air dan memberikannya tisu.

“Ini Ka, kamu yang tenang yah.” Herman memberikan tisu dan mengambilkannya sebuah gelas air.

“Saya terima kamu bekerja di sini sebagai asisten arsitektur.” Sambil memberikan dokumen Malika.

“Serius, Man?” Terkejut mendengar ucapan Herman.

“Mulai besok kamu bekerja yah.” Sambil tersenyum ke Malika.

“Terima kasih, Man” Sambil tersenyum dan berpamitan ke Herman.

     Malika sangat bahagia mendapatkan pekerjaan ini, karena ia harus menafkahi anaknya yang usianya sama dengan Rani.

     Waktu berlalu begitu cepat, Herman mengingat bahwa ia akan menjemput Ratih dan Rani di sekolah. Ia pun bergegas untuk ke sekolah Ratih dan Rani, Herman berniat untuk memberikan kejutan kepada Ratih dan Rani dengan memberikannya sebuah hadiah yang mereka sukai. Sebelum ke sekolah untuk menjemput mereka, Herman singgah ke toko mainan untuk membelikan Ratih dan Rani hadiah. Herman membelikan boneka beruang untuk Ratih dan boneka panda untuk Rani.

     Ratih dan Rani rupanya telah menunggu ayahnya di depan pintu gerbang sekolahnhya, mereka sempat berfikir bahwa ayahnya tidak akan datang, karena sibuk.

“Kak, itu kan mobil Ayah?” Teriak Rani sambil menunjuk tepat pada mobil ayahnya.

“Iya dek, itu Ayah!” Senyuman terpancar dengan bahagia.

     Herman turun dari mobil dengan mengeluarkan boneka yang telah di beli untuk kedua putri tercintanya.

“Ta-daa..” Sambil memberikan hadiah tersebut kepada Ratih dan Rani.

     Ekspresi Ratih sangat senang melihat hadiah yang diberikan ayahnya. Tetapi, entah kenapa Rani terlihat murung melihat hadiah yang diberikan ayahnya. Herman dibuat bingung oleh Rani yang tidak biasanya seperti itu saat diberikan hadiah.

“Rani, kamu kenapa Nak?” Tanya Herman sambil mengusap kepala Rani.
Tetapi, tak ada respon yang diberikan Rani. Ia hanya termenung dan tidak mengatakan apa-apa.

     Sesampainya di rumah, Rani langsung memasuki kamar dan mengunci pintu sambil ia memeluk boneka yang ada di kamarnya. Rani mengenang momen bersama ibunya saat ia ulang tahun. Saat itu, ibunya memberikan hadiah boneka kepada Rani dan hadiah tersebut adalah hadiah terakhir sebelum ibunya meninggal.

“Ibu, kali ini Rani tak ingin menangis, karena kata ayah kalau Rani menangis, ibu akan sedih dan Ratih tak ingin ibu bersedih.” Sambil menahan tangis yang ingin keluar dari matanya.

     Herman khawatir pada Rani, mengapa sikapnya berubah menjadi dingin seperti itu.

“Rani buka pintunya Nak!” Sambil teriak dan mengetuk pintunya dengan keras.

”Yah, tolong biarkan Rani sendiri, Rani tidak apa-apa Yah.” Sambil memeluk bonekanya dengan erat.

     Herman meninggalkan Rani sendiri tetapi masih khawatir dengan kondisinya yang akan memperburuk fisik dan mental Rani. Herman selalu berfikir mencari jalan keluar agar Rani sembuh dari trauma atas meninggalnya Indah. Jalan satu-satunya agar Rani tidak larut dalam kesedihannya, yaitu mencarikan ibu baru untuknya dengan demikian ada yang merawat dan menemani kedua putrinya.

     Di pagi hari, Ratih telah bersiap untuk ke sekolah dan pergi menemui ayahnya di meja makan.

“Selamat Pagi, Yah.” Sapa Ratih dengan tersenyum kepada Herman.

“Adik kamu kemana, tidak pergi ke sekolah?” Tanya Herman kepada Ratih dengan khawatir.

“Sejak semalam Rani tidak keluar dari kamarnya.” Jelas Ratih.

     Herman semakin khawatir kepada Rani dan meminta kepada Ratih untuk ke sekolah bersama supir pribadinya dan bergegas ke kamar Rani.

“Rani! Rani! buka pintunya Nak!” Teriak Herman sambil berusaha mencoba membuka engsel pintu kamar Rani. Namun, Rani tidak merespon sama sekali.

     Herman mencoba mendobrak pintu kamar Rani dengan sekuat tenaga dan berhasil membuka pintunya. Ia menemukan Rani dalam keadaan tidak sadar diri dan demam yang tinggi. Herman bergegas dengan cepat membawa Rani ke rumah sakit.

     Setibanya di rumah sakit, Rani diberikan penanganan medis dan Herman tampak begitu cemas melihat putrinya tak sadarkan diri.
    Beberapa menit berlalu, dokter pun keluar dari kamar perawatan Rani dengan ke khawatirannya, Herman menghampiri dokter tersebut.

“Dok, Apa yang terjadi pada putri Saya?” Tanya Herman dengan penuh cemas.

“Tidak ada yang perlu di khawatirkan Pak! Putri anda baik-baik saja, namun ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada bapak terkait mental putri bapak. Saat ini dia dalam keadaan trauma, mungkin membutuhkan beberapa waktu untuk menyembuhkan atau menghilangkan trauma yang dia alami ini.” Jelas dokter tersebut sambil menepuk bahu Herman dan pergi.

     Herman hanya bisa menghela nafas dan melihat putrinya terbaring lemah dengan jarum dan selang yang menempel di tangannya. Tak tega lagi melihatnya seperti itu, Herman akan mencarikan sosok yang akan menjadi pengganti Indah untuk menemani dan merawat putrinya.

     Beberapa menit kemudian, Rani sadarkan diri dan melihat ayahnya tertidur sambil memegang erat tangannya.

“Yah..Ayah!” Rani membangunkan ayahnya.

“Nak, kamu sudah sadar?” Dengan terbangun melihat Rani sudah sadarkan diri.

“Rani ingin pulang ke rumah Yah, Rani tidak mau di sini.” Rani berkata kepada Herman sambil memegang tangannya.

“Apa kamu sudah merasa baikan Nak?” Tanya Herman.

“Iya Yah, Rani ingin kembali ke rumah.” Rani meyakinkan Herman bahwa dia baik-baiki saja.

“Baiklah, Tunggu Ayah di sini yah! Ayah akan pergi mengurus administrasinya.” Sambil mengelus rambut Rani, Herman keluar dari kamar perawatan.

     Di ruang administrasi, Herman bertemu dengan Malika dan putrinya yang bernama Asyila.

“Pak Herman sedang apa di rumah sakit?” Tegur Malika pada Herman yang hendak mengurus administrasi.

“Eh, Malika jangan panggil pak lah, kita kan saling kenal lagian kita ini bukan berada di kantor.” Ucap Herman sambil sedikit tertawa.

“Hehehe, Maaf.”

“Rani, putri bungsuku sedang dirawat. Kalau kamu?” Tanya balik Herman.

“Ini, Asyila batuknya tidak berhenti-berhenti dari kemarin.” Jelasnya sambil mengelus kepala Asyila

“...Terus, Rani dimana? kamu tinggal sendirian?”

“ Iya, dia sendirian di kamarnya.” Sambil menerima struk pembayaran administrasi.

     Setelah beberapa lama mengobrol, Herman membawa Malika dan Asyila untuk melihat keadaan Rani di kamarnya.

“Asyila?” Rani terkejut melihat sahabatnya ada di sini.

“Rani?” Asyila berlari menghampiri Rani.

     Herman dan Malika tak menyangka kalau anak mereka berdua adalah sahabat dekat di sekolah. Melihat kejadian tersebut, Malika mengingat dirinya dan Indah saat masa-masa kuliah mereka dulu sambil menitikkan air matanya.

“Wah, ternyata kalian sudah saling kenal yah?” Tanya Herman kepada Rani dan Asyila.

“Iya, Yah. Asyila satu-satunya sahabat Rani di sekolah.” Jawab Rani sambil tersenyum bahagia melihat Asyila.

     Herman dan Malika keluar meninggalkan Rani dan Asyila. Mereka berdua saling mengobrol, hingga Herman menyatakan sesuatu ke Malika.

“Ka, ada yang ingin aku katakana ke kamu!” Sambil menatap Malika dengan serius.

“Apa Man?” Malika mengehentikan langkahnya.

“Rani saat ini mengalami trauma atas meninggalnya Indah, ia belum bisa melupakan Indah hingga hal tersebut terpengaruh pada mental dan fisik Rani.” Jelas Herman.

“Wajar saja Man, karena Rani sangat menyayangi Indah dan tak mudah baginya untuk melupakan Indah di usianya yang masih belum terlalu paham seperti ini.” Sambil menepuk pundak Herman.

“Mereka membutuhkan sosok pengganti Indah, Ka. Dan, saya ingin kamu menggantikan posisi Indah Ka, menurutku kamu adalah orang yang tepat dan dapat menjaga kedua putriku dengan baik.” Herman menatap dan memegang tangan Malika.

“Aku? Tidak mungkin bagiku untuk menggantikan posisi Indah!” Malika sempat menolak Herman, tetapi Malika mengingat pesan Indah saat ia masih kuliah, bahwa mereka akan saling menjaga anak mereka ketika mereka dewasa dan memiliki anak.

“Baiklah, saya akan menggantikan posisi Indah untuk menjaga dan merawat Ratih dan juga Rani.” Sambil menatap mata Herman.

     Mendengar hal tersebut, Herman bahagia dan tak khawatir lagi mengenai kedua putrinya. Mereka berdua pergi menjemput Rani dan Asyila ke kamar perawatan dan pulang ke rumah.

     Herman mengantar Malika dan Asyila ke rumahnya dan terus menjemput Ratih di sekolah.

     Setibanya mereka di rumah, Herman menjelaskan kepada Ratih dan Rani mengenai Malika yang akan menjadi ibu dari mereka. Rani terlihat senang mendengar hal tersebut. Tetapi, Ratih sedikit bingung maksud dari ayahnya.

“Ayah ingin menikah lagi?” Tanya Ratih kepada Ayahnya dengan nada yang cukup keras.

“Nak, ini demi kalian. Ayah tidak ingin kalian sendiri seperti ini. Ayah ingin melihat seseorang berada di samping kalian untuk menemani dan menjaga kalian.” Jelas Herman sambil memegang tangan Ratih.

     Tetapi, Ratih belum bisa mengerti ayahnya, ia berlari keluar dan melepaskan tangan ayahnya. Herman membiarkan Ratih sendiri dan dia akan perlahan-lahan memahami maksudnya.

     Di siang yang terik, Ratih melangkahkan kakinya di atas aspal yang cukup panas. Ia terus saja melamunkan ayahnya yang berkata dia akan menikah lagi. Ia khawatir, kalau ibu tirinya sama dengan adegan yang ia nonton di televisi. Ratih terus melangkah tanpa mempedulikan kendaraan di sekitarnya.

     Tiba-tiba saja sebuah truk akan mengarah ke arah Ratih, tetapi Ratih tetap saja tak melihat truk itu akan melaju hingga ia nyaris saja tertabrak oleh truk tersebut, untung saja seseorang berhasil menarik Ratih ke tempat yang aman.

“Nak, kamu kenapa melamun di tengah jalan? Sampai-sampai tak melihat truk hampir saja menabrakmu.” Ucap Malika kepada Ratih sambil melihat keadaannya.

“Terima kasih tante, sudah menyelamatkan saya.” Jawabnya dengan sedikit lesu dan tidak bersemangat.

     Malika tidak mengetahui bahwa Ratih adalah putri dari Herman, begitupun juga dengan Ratih yang tidak mengetahui bahwa yang menyelamatkannya adalah Malika.

“Dengan kondisi kamu seperti ini, tante tidak menjamin kamu akan sampai di rumahmu dengan selamat. Maka dari itu, tante akan mengantar kamu pulang.”

     Sambil menggenggam tangan Ratih.
Ratih menurut kepada Malika dan mengantarnya sampai di rumah. Setibanya di rumah Ratih, Herman melihat Ratih diantar oleh Malika.

“Malika?” Tanya Herman sambil melihat Malika dan Ratih.

     Ratih sedikit terkejut mendengar bahwa tante yang menyelamatkan dirinya adalahMalika, calon ibu tirinya.

“Iya, tadi aku pergi menebus obat Asyila di Apotek dan tak sengaja melihat anak kecil melamun di tengah jalan yang nyaris saja tertabrak oleh truk.” Sedikit terkejut melihat Herman.

     Mendengar hal tersebut, Herman bergegas melihat kondisi Ratih.

“Kamu tidak apa-apa Nak?” Tanya Herman dengan cemas.

“I..iya, aku tidak apa-apa Yah.”

     Sedikit demi sedikit beban yang ada di pikiran Ratih menghilang, ia lega bahwa Malika adalah calon ibu tirinya yang sifatnya jelas-jelas tak sama di adegan film yang menyiksa, memarahi dan membentak-bentak anak tirinya.

     Ratih menggapai tangan ayahnya dan juga tangan Malika dan ia berkata,

“Aku setuju kalau tante Malika yang akan menjadi pengganti ibu.” Senyum Ratih kepada Herman dan Malika sambil menyatukan tangan Herman dan Rani.

     Herman dan Malika ikut tersenyum melihat Ratih, tak berselang lama Rani pun keluar dan melihat Malika dan Herman serta Ratih di luar sambil berlari dan pergi memeluk mereka.

Comments

Popular Posts